Magenta Solusindo

-let's enjoy open discussion-

Monday, May 15, 2006

Bix Fix Juga

Sayang sekali perusahaan sebesar Toyota terlambat untuk menerapkan IT sebagai core competence dan bekerja sama dengan bagian bisnis. Untuk perusahaan yang bergerak dalam 4C (company, customer, competitor, and change), Toyota harusnya bisa menempatkan IT sebagai core competence untuk memajukan strategi bisnisnya. IT di Toyota harus bisa adaftive dan bisa menjadi support, strategic weapon sekaligus enabler dalam perkembangan bisnis yang ada di Toyota.

Perubahan yang terjadi di Toyota pada tahun 2003 itu sudah merupakan suatu keharusan. Bahkan seharusnya dilakukan lebih cepat dari itu. IT sudah tidak bisa lagi mengisolasikan dirinya dari dunia bisnis. IT sudah bukan lagi suatu bagian yang angkuh dan tidak mau menerima pertimbangan dari dunia bisnis. Anggapan seperti ini sudah tidak bisa digunakan lagi. IT sekarang, terutama karena Toyota bergerak dalam 4C, harus menjadi salah satu bagian yang menentukan strategi bisnis (salah satu bagian dari core competence perusahaan) dan bekerja sama dengan dunia bisnis itu sendiri.

Perubahan struktur organisasi IT di Toyota, saya nilai terlambat. Harusnya IT sudah dari jauh-jauh hari menjadi core competance dan bekerja sama dengan bagian bisnis untuk menentukan strategi bisnis. Keterlambatan ini menyebabkan banyaknya pertentangan yang terjadi di IT sendiri. Terutama dari staff IT senior yang sudah merasa puas akan jabatannya di struktur organisasi sebelumnya. Selain itu, keterlambatan tersebut juga sudah memberikan image yang buruk bagi IT, sehingga memerlukan waktu dan sumber daya yang cukup lama dan besar untuk IT agar bisa meyakinkan bagian bisnis akan perubahan tersebut.

Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sistem yang diambil CEO dalam hal reward dan punishment juga sudah dilakukan dengan baik. Dengan memberikan bonus (reward) kepada staff-staff yang melakukan pekerjaan dengan baik dan menahan bonus bila tidak melakukan pekerjaan dengan sesuai, bisa memberikan dorongan untuk bekerja lebih keras dan menimbulkan kepuasan akan pekerjaannya. Usaha-usaha ini juga yang akhirnya membuat image IT di Toyota perlahan-lahan berubah, dari hanya bagian yang hanya bisa membelanjakan anggaran dengan hasil yang tidak jelas menjadi bagian yang mendukung dan menciptakan strategi bisnis dengan biaya yang lebih ringan dan hasil yang lebih besar.

Thursday, May 11, 2006

The Big Fix

Kondisi yang kita temui pada masa – masa ‘gelap’ pengelolaan IT di TMS, bisa jadi juga kita temui pada perusahaan tempat kita bekerja. Kondisi di mana koordinasi antara user bisnis dengan IT yang tidak harmonis, dan dominasi yang tidak seimbang di antara keduanya. Dalam case TMS, banyak proyek diadakan dengan tidak memperdulikan standar arsitektur, integrasi sistem ataupun keuntungan bisnis. IT sebagai support yang secara leadership baru dikelola pada tingkat order taker, yang akhirnya justru menjerumuskan orang IT ke dalam dunianya sendiri dan memperbesar jarak dengan user bisnis.

Di sinilah perlunya koordinasi antara user bisnis dengan IT, untuk menciptakan transparansi departmen IT. Citra yang tercipta di mana IT seringkali deliver system yang tidak sesuai dengan kebutuhan bisnis, IT yang tidak responsif dengan perkembangan dunia bisnis yang sedemikian dinamis, dan IT yang birokratif. Langkah berani sebagaimana diterapkan CIO TMS layak ditiru. Dengan mengadakan informal feedback user dari semua sektor bisnis, bisa dicapture sebagian besar kelemahan yang ada diantaranya kurangnya komunikasi dan edukasi user bisnis yang merupakan kunci sukses implementasi sistem.

Lesson learn paling menarik yang bisa diambil dari case ini adalah pemilihan strategi reorganisasi yang tepat. Setelah melalui proses studi yang panjang, diskusi yang melibatkan pihak user bisnis, dan akomodasi terhadap aspirasi semua pihak dalam proses reorganisasi, dipilih desentralisasi IT-User Driven. Meskipun pada awalnya banyak resistensi, tapi berkat usaha sosialisasi dan koordinasi vertikal dan horizontal, pemahaman akan manfaat secara organisasi terutama bisnis akhirnya berhasil membuka wawasan dan membuat pihak user bisnis menyadari peran pentingnya dalam setiap kegiatan pengembangan sistem. Strategi ini diformulasikan dengan membentuk satu komite yang berisi top managemen dari unit bisnis dan IT yang akan mengkaji secara bersama dan memutuskan setiap pengembangan sistem. Komite ini juga dapat berfungsi sebagai unit kontrol untuk memastikan keberhasilan implementasi sistem.

Proses desentralisasi IT dengan membentuk DIO di setiap unit bisnis yang ada berhasil capture user needs secara lebih spesifik dan sesuai kebutuhan. Kekakuan dan arogansi yang tercipta sebelumnya, berhasil dikikis dengan terciptanya hubungan baik dan sinergi sebagai team dalam unit bisnis. User bisnis lebih jauh diuntungkan karena dapat menyusun anggaran dengan lebih terukur, karena biaya IT bisa dihitung secara detil, dan yang lebih menggembirakan adalah cost dan benefit dari setiap nominal yang dikeluarkan untuk investasi IT berhasil dihitung. Sinergi ini telah menghasilkan suatu IT perspective yang lebih terbuka bagi unit bisnis. Review kegiatan bisa dilakukan dengan lebih mudah, dan terutama tidak adanya blackout ketika sistem tidak berfungsi karena DIO akan bisa mendukung mereka dengan penjelasan yang business sense.

Bisnis dan IT pada masa mendatang adalah sebuah kolaborasi dan tanggung jawab bersama. Distribusi sumber daya IT secara tepat di dalam perusahaan untuk dapat memfasilitasi transfer knowledge dari satu unit ke unit yang lain. Visi yang kuat dan dukungan dari top level managemen sangat diperlukan. Hal ini akan mendukung suksesnya penerapan IT Policy secara menyeluruh. Pada kondisi saat ini di mana IT sudah menjadi critical part dari srategi perusahaan dan operasional harian perusahaan, maka IT perlu dibawa ke tingkat yang lebih tinggi untuk terlibat pada perencanaan bisnis perusahaan. Sehingga pada akhirnya akan bisa diciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhan untuk inovasi dengan kontrol. Dan keseimbangan dominasi antara user IT dan user bisnis.

Friday, April 21, 2006

No 1.. iPremier

Temans,

ini jawaban yang punya ku. tolong di revisi, di bagusin yah. lagi gak ada ide lagi. udah mentok.

Thanks,
-------

iPremier menghadapi attack (DoS) dengan sangat buruk. Bila diukur dengan menggunakan skala 1 sampai 10, iPremier hanya mendapatkan nilai 4. Syukurlah serang tersebut hanya berlangsung selama 75 menit serta berlangsung pada malam hari, bila tidak kerugian yang akan dialami oleh iPremier akan sangat banyak, tidak hanya berupa tangible value yang bisa dihitung dengan mudah tapi juga intangible value yang sulit untuk dihitung.

Hal-hal yang menjadi faktor buruknya tindakan penanganan attack yang dilakukan oleh iPremier antara lain kepanikan dan kurangnya koordinasi, kedua hal yang sangat mempengaruhi kesuksesan penanganan attack. Kepanikan ini tidak hanya dialami oleh staff dari iPremier, bahkan CIO, VP dan CEO iPremier pun panik. CIO yang harusnya bisa mengendalikan keadaan, bingung dan panik harus melakukan apa. Hal ini ditambah dengan kondisi CIO pada saat itu yang berada di luar kota. Yang dilakukannnya saat itu hanya menugaskan staffnya untuk mengecek kenapa bisa terjadi seperti itu dan memberitahu perkembangannya lewat telephone. Selain itu, CIO juga tidak bisa menenangkan pimpinan (VP dan CEO). CIO tidak bisa memberikan informasi dan rencana penanganan serangan dengan baik. Sehingga pimpinan ikut panik dan khawatir, dan memberikan solusi-solusi yang tidak relevan. Selain itu, tidak adanya koordinasi antar staff juga berpengaruh sangat besar. Masing-masing staff mencoba mencari tahu masalahnya dan menarik kesimpulan yang salah. Hal ini diperparah dengan tersebarnya kesimpulan yang salah tersebut ke pimpinan (Leon, staff IT, memberitahukan VP sehingga terjadi kepanikan di kalangan pimpinan).

Ada beberapa hal yang harusnya dilakukan oleh CIO iPremier pada saat terjadi attack. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah jangan panik, serta mencoba menenangkan staffnya, sehingga bisa menangani attack dengan baik. Selalu ingat pepatah, berpikir dengan hati dingin. Kedua, CIO harus mendistribusikan tugas ke staffnya. Mendistribusikan disini termasuk membagi-bagi tugas dan memberitahu informasi apa yang harus diberikan ke orang lain apabila ada yang menanyakan. Selain itu, CIO juga harus memberitahukan kondisi yang terjadi pada pimpinan dan mengemukakan rencana-rencana penanganan serangan yang akan dilakukan. Hal ini berguna untuk memberitahukan kondisi serta menenangkan pimpinan. Tapi yang paling penting dari semua ini adalah monitoring. CIO harus bisa memonitoring sampai mana perkembangan yang dilakukan staff untuk menangani attack. Agar bisa memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang akan dicapai.

Virtual Integration

Virtual Integration, adalah sebuah konsep kerjasama untuk memaksimalkan value chain dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk sharing informasi yang dibutuhkan antar pihak – pihak yang terlibat. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan value yang sebesar – besarnya kepada customer dengan tetap mendapatkan profit untuk sustainability perusahaan. Untuk case Dell dilakukan dengan share informasi dan plan secara free, kolaborasi, share design database dan metodologi.

Sebagai contoh kasus adalah Dell, yang berhasil memaksimalkan relationship dengan customer, dan partnership dengan supplier dan manufacture untuk menciptakan sebuah virtual corporation. Batasan – batasan industri yang secara tradisional ada di antaranya dikaburkan, sehingga seolah – olah merupakan satu kesatuan. Informasi yang bisa diciptakan dari integrasi ini sungguh luar biasa, didukung dengan adanya benefit dari sharing infrastruktur internet. Revolusi bisnis ini memberikan cost advantage bagi banyak pihak. Di samping menciptakan efisiensi dan produktivitas antar perusahaan.

Kerjasama lama yang bersifat tight coupling, yang pada dunia industri komputer menimbulkan cost di sisi inventory, dan kurang fleksibel untuk menjadi leading player ditiadakan. Kerjasama diarahkan ke lously coupling, di mana pendekatan industri yang menekankan pada inventori digeser menjadi pola pikir seberapa cepat barang bisa dikirimkan ke konsumen. Hal ini memungkinkan Dell untuk melakukan pemesanan ke supplier sesuai kebutuhan, diproduksi dan dikirimkan hari itu juga. Ditambah kerjasama dengan perusahaan pengiriman barang, industri value chain dipangkas dari manufaktur langsung ke customer (just in time inventory). Hal ini menciptakan customer value untuk kecepatan delivery barang, dan bagi Dell sendiri meningkatkan cost reduction dan speed time to market.

Dengan virtual integration memungkinkan perusahaan untuk customer focus, supplier partnership, mas customization, just in time manufacturing, dan spesialisasi bagi banyak supplier dan manufaktur. Dua keuntungan ekonomis utama adalah adanya koordinasi supply chain yang erat, selayaknya vertical integration dan dengan fokus, spesialisasi, diferensiasi akan mengarah pada virtual corporation.

Key Success Factor dari virtual integration adalah adanya pertukaran data yang real time, handal dan reliable. Dalam hal inilah internet memberikan competitive advantage dalam penciptaan proprietary advantage melalui sinergi antara perusahaan dengan supplier. Kedua adalah adanya virtual integration dengan customer, melalui kerjasama yang baik mengetahui kebutuhan dengan lebih jelas, memberikan konsultasi bukan secara jual putus, membantu perencanaan, dan memberikan kesempatan untuk corporate customer dalam kustomisasi produk yang mereka butuhkan, memberikan solusi total sehingga seolah – olah menjadi bagian dari customer. Hal ini akanmeningkatkan customer satisfaction dan customer loyalty.

Dengan virtual integration Dell terbukti berhasil memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membangun proprietary competitive advantage. Virtual integration telah memperkokoh Dell sebagai Brand Leader di industri komputer, brand value dan awareness semakin kuat dan penguasaan pasar secara luas di dunia.

aes - 7205000067

Thursday, April 20, 2006

MSIK ... oh no..............

pagi-pagi sudah mendedikasikan diri untuk membuat tugas MSIK... tapi karena banyaknya bingung mau buat seperti apa. semakin di baca semakin pusing. jadi di putuskan untuk mengarang indah.

Tugas pertama : respon paper 2, The power of virtual integration. 20 menit pertama mengarang dengan sangat indah. menambah2kan istilah-istilah keren yang ada di buku (biar dianggap lebih mengerti :P). 10 menit selanjutnya sudah kehabisan ide.... untung tinggal beberapa baris lagi .. akhirnya setelah sekitar 30 menit berjuang tugas respon paper 2 selesai. untung .. untung ...

Tugas kedua : case study, nomor 1. ini lebih bingung lagi mau ngarang apa. karena otak sudah diperas untuk mengarang indah di respon paper 2, sudah tidak ada ide untuk ngarang case study... Udah ada point-pointnya sih, tapi kok gak ada ide untuk mengembangkannya jadi kalimat yang baik dan benar yah. hmm.. mesti mencari inspirasi.

Karena sekarang sudah mendekati jam 9, tugas di tinggalkan dulu untuk sementara waktu. Mesti kerja nih ......

Jadi kesimpulannya, tugas case studi di pending dulu sampai batas waktu yang belum di tentu kan ... :P

Sunday, March 19, 2006

Leapfrog, another fairy tale to success

Pertanyaan I
Business model yang Leapfrog terapkan pertama kali adalah toy company. Model ini tercipta berdasarkan inspirasi yang didapatkan saat Mike Wood sedang bermain dengan anaknya, dan ingin membantu anaknya dalam mengenal bahwa huruf itu memiliki nama dan suara. Dari sinilah Mike Wood menginventasikan uangnya untuk mewujudkan idenya yang berorientasi pada mainan yang mendidik, dan produk yang pertama dia luncurkan adalah The Phonics Desk yang terintegrasi dengan teknologi dengan berdasarkan pada research learning model untuk phonics instruction.

Business model yang leapfrog terapkan sukses besar, hal ini dikarenakan ada perencanaan dan research yang matang. Selain itu Leapfrog juga menyiapkan jaringan untuk memasarkan produknya. Leapfrog berdiri tahun 1995, setelah melalui proses riset yang panjang dari tahun 1990. Wood melakukan konsultasi dan kerjasama dengan para pakar di bidang pendidikan untuk produk pertamanya yaitu The Phonics Desk. Wood juga melakukan assess terhadap produk sebelum dijual dengan pola sebagai berikut :


Salah satu prinsip mereka adalah “we have to build things that are exiciting enough to engage kids and get them focuse and learning”. Dari prinsip tersebut Leapfrog mengembangkan business modelnya di bidang pendikan di mana publik US sangat concern terhadap edukasi. Leapfrog kemudian terus bertransformasi dengan tetap mempertahankan visi mereka yang dianggap sebagai competitive advantage demi menjaga supaya bisnis sustainable.

Pertanyaan II
Fenomena yang dibuat oleh Leapfrog memang cukup menarik. Dengan sebuah konsep yang orisinil, yang menurut Prof. Kim dalam bukunya Blue Ocean Strategy, Mike Wood alih – alih bersaing dalam samudra merah yang penuh dengan persaingan berdarah – darah. Secara realistis lebih memilih untuk memasuki pasar dunia mainan dari segmen yang sama sekali berbeda. Sehingga pada masa – masa awal, yaitu kurun waktu 1995 – 2003, persaingan di dunia industri mainan khususnya produk edukasi menjadi tidak relevan. Model pendekatan di mana berdasarkan pasar yang ada dikembangkan lagi menjadi suatu produk baru(expand), dengan packaging dan target pasar yang spesifik, disebut lebih lanjut oleh Prof. Kim sebagai strategi samudra biru.

Dari strategi itulah Leapfrog bisa menembus dominasi para pemain lama, yang terutama dikuasai oleh Mattel, Hasbro dan sukses menguasai pasar di posisi ketiga. Meski sebenarnya tidak bisa begitu saja dibandingkan secara apple to apple, karena Mattel dan Hasbro memproduksi mainan secara lebih general, sedangkan Leapfrog mendefinisikan dirinya spesifik sebagai technology-based learning products. Dari diferensiasi strategi itulah, Leapfrog sukses membukukan produknya sebagai Toy of the Year versi TIA (Toy Industry Association) secara berturut – turut dari tahun 2000 – 2005. Hal ini masih diperkuat dengan data dari banyak lembaga market research yang mengukuhkan Leapfrog sebagai Brand Leader dari Educational Toy Market.

Namun demikian dunia bisnis bukanlah lingkungan yang ramah. Kesuksesan Leapfrog dalam membukukan total Net Sales senilai US$ 680 M di tahun 2003, membuka mata para pemain yang lain terhadap pasar yang menggiurkan tersebut. Tak kurang Mattel akhirnya membuat sebuah produk sejenis yaitu Fisher-Price PowerTouch, dan Vtech dari Hongkong dengan produknya V-Smile gadget, berhasil merebut ‘kue’ yang sebelumnya dinikmati oleh Leapfrog sendiri.

Leapfrog Annual Report (www.leapfroginvestor.com)



Dari annual report tersebut, akhirnya Leapfrog terkena badai juga. Tahun 2004, selain dihadapkan pada kondisi bahwa market tidak seindah tahun sebelumnya, penurunan sales juga memicu turunnya nilai saham Leapfrog (LF) dan semakin membuat rapor Leapfrog merah pada tahun tersebut. Hal ini kontras dengan kenyataan bahwa pada tahun 2002, Leapfrog mencatat sejarah sebagai IPO tersuskes.

Sebenarnya apa yang terjadi pada tahun 2004. Tom Kalinske 15 Februari 2005 di SF Business Times, menyatakan bahwa Leapfrog pada tahun 2004 menghabiskan operasional cost lebih banyak dari yang seharusnya. Tom juga menyebutkan bahwa Retailer tidak memesan sebanyak yang diharapkan. Kemudian CEO yang baru Jerry Perez, pada artikel di BusinessWeek ”Can LeapFrog Jump Back to the Black?” tanggal tanggal 23 Agustus 2005, menambahkan bahwa memasuki Quarter ketiga tahun 2005 Leapfrog berhasil melakukan delivery terhadap pemesanan customer sebanyak 90% secara on time dibandingkan dengan jumlah 64% di tahun 2004.

Pada tahun tersebut penjualan Leapfrog secara sistem terganggu oleh kegiatan implementasi sistem inventory, dan manajemen distribusi. Dengan kebutuhan dari customer seperti Wal-Mart, Target, dan juga Amazon.com yang besar, Leapfrog tidak bisa mengantisipasi demand dengan supply yang baik. Kondisi inilah yang akhirnya disadari oleh Leapfrog bahwa mereka tidak mengantisipasi perkembangan tersebut dengan implementasi sistem informasi dan teknologi informasi terkait dengan inventory dan distribusinya. Sehingga pada awal tahun 2005, mereka merekrut CFO, CIO dan Supply Chain Manager untuk memperbaiki itu semua.

Namun demikian berkat strong brand identity, dan predikat sebagai first innovator, Leapfrog tidak terlempar keluar dari kompetisi. Setelah implementasi sistem TI yang lebih baik, akhirnya pada tahun 2005 Leapfrog berhasil membukukan Net Income yang positif dan siap berkompetisi kembali.

Pertanyaan III
Adanya educational principles sebagai value brand dari produk yang sangat mendukung public interest. Keunggulan inilah yang membuat LeapFrog sustainable dalam berkompetisi. Improvement terbuka lebar dengan inovasi produk ke arah teknologi yang menawarkan kemudahan, kenyamanan dan interaktif dalam belajar sekaligus bermain.

Adanya 2 sektor bisnis yang kuat, yaitu sebagai toy company dan educational company sehingga dapat meraih target market yang lebih besar. Implikasi dari potensi market yang besar dan terprediksi dengan baik, maka semakin tinggi tingkat penjualan dan margin sehingga sustainable dalam pemasarannya. Improvement perlu dilakukan dalam mengelola masing-masing sektor secara khusus dengan pemilihan resource yang tepat dan secara umum melakukan virtual integration yang loosely-coupled dengan perusahaan-perusahaan manufacturing dan retailer.

Adanya brand image yang kuat pada produknya sehingga secara otomatis mengikat target market. Keunggulan brand sebagai first mover ini menjadi alasan kuat bagi Leapfrog tersebut untuk berkompetisi. LeapFrog berhasil memberikan solusi terbaik bagi anak-anak agar sesuai dengan keinginan orang tua sebagai sasaran. Dengan menjadikan setiap inovasi sebagai intellectual property akan semakin meningkatkan sustainability.

Adanya diversifikasi produk dalam membangun opportunities yang berkembang berdasarkan behaviour dari target market. Adanya competitor membuat Leapfrog perlu untuk mengevaluasi produknya agar dapat memberikan greater value pada produknya melebihi apa yang ditawarkan oleh competitor. LeapFrog selalu melihat dan belajar dari pola market, sehingga lebih sustain dalam mengembangkan produknya. Improvement dapat terlihat setelah Leapfrog tersebut memiliki positioning strategy pada consumer behaviour (cultural, social, personal dan psychological).

Pertanyaan IV
Perkembangan Leapfrog melalui beberapa tahapan. Bila dilihat dengan seksama, tahapan perkembangan itu bisa dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Stage 1  Leap to Exists (1990 – 1997)
2. Stage 2  Leap to Success (mid 1997 – 2001)
3. Stage 3  Leap to Lead (2001 – 2003)
4. Stage 4  Leap to Sustain (2004 – sekarang)
Untuk lebih jelasnya tentang perkembangan yang terjadi bisa dilihat pada gambar 1 dan 2, serta tabel 1 dan 2.

Gambar 1. Pengembangan Produk Leapfrog


Gambar 2. Pengembangan Kerjasama Leapfrog

Tabel 1. Perkembangan IT Leapfrog


Tabel 2. Faktor Keberhasilan, Resiko dan Tradeoff Leapfrog


Stage 1 – Leap to Exists
Ini merupakan tahap awal, di mana Leapfrog lebih bertujuan untuk memperkenalkan produk yang dihasilkannya ke konsumen. Leapfrog memperbaiki produk dan menurunkan harga produksinya (‘The Phonics Learning System’ dari $ 100 menjadi kurang dari $ 50).

Selain itu, kerjasama antara Leapfrog dengan pabrik dan retailer pun masih bersifat transactional biasa. Pemesanan langsung dibayarkan ketika barang datang, tanpa memikirkan tentang kontrak yang akan datang. Pada tahap ini IT hanya digunakan untuk pengembangan produknya, itupun masih di-outsource dari sebuah perusahaan software lain.

Walaupun demikian, produk Leapfrog berhasil mendapatkan sukses. Faktor penentu kesuksesan itu antara lain ide inovasi yang dihasilkan, kesetiaan investor dan karyawan serta belum adanya pesaing di produk yang dikeluarkan. Sehingga Leapfrog memperoleh keuntungan yang sangat tinggi.

Resiko pada tahap ini adalah kesulitan dalam kesesuaian harga antara biaya produksi dan ekspektasi konsumen. Hal ini menyebabkan Leapfrog baru menjadi sebuah perusahaan dan mengeluarkan produk pada tahun 1995, walaupun idenya sudah ada dari tahun 1990. Faktor lain yang menjadi resiko adalah sangat eratnya keterkaitan dengan pabrik (tightly coupled). Pada tahap ini Leapfrog belum memiliki banyak partnership dengan manufaktur. Ini menyebabkan Leapfrog harus merelakan 80 % dari keuntungannya untuk menerbangkan produknya agar sampai tepat waktu.

Stage 2 – Leap to Success
Pada tahap ini,Leapfrog terus berusaha mengembangkan diri. Langkah-langkah yang diambil di antaranya : untuk mendapatkan capital Leapfrog bergabung dengan Knowledge Universe dan untuk memperkuat teknologi Leapfrog mengakusisi Explore Learning. Tahap ini memungkinkan Leapfrog untuk melakukan proses penelitian dan pembuatan hardware dan software produknya secara in house (selective outsourcing).

Di sisi lain, Leapfrog mulai melakukan diversifikasi produk. Leapfrog melakukannya dengan memperbanyak produk education toys dan memisahkan antara platform dan content. Platform yang dibuat terdiri dari beberapa versi, yang setiap versi compatible dengan versi sebelumnya. Sedangkan content nya dibuat dalam berbagai judul dan isi.

Hubungan dengan pabrik dan retailer pun berubah, dan bergerak ke arah kerjasama berdasarkan kontrak (contractual). Dalam segi IT, selain pembuatan dan penelitian software dan hardware secara in house, mulai terdapat penggunaan IT sebagai alat untuk menangani proses yang terjadi. Salah satunya adalah dengan just in time inventory system yang menjembatani kebutuhan retailer dengan Leapfrog.

Perubahan strategi fabrikasi dan pemasaran dari tightly coupled menjadi loosely coupled merupakan salah satu faktor keberhasilan utama. Dengan adanya perubahan strategi itu, semakin banyak produk Leapfrog yang dapat diproduksi dan dijual. Resiko terbesar adalah bagaimana melakukan selective outsourcing. Akhirnya Leapfrog memutuskan untuk melakukan penelitian dan pembuatan produk tetap secara in house sedangkan fabrikasi dilakukan oleh perusahaan lain. Sedangkan untuk membuat compatible platform, Leapfrog mengeluarkan cost yang besar untuk R & D.

Stage 3 – Leap To Lead
Tahapan ini diwarnai dengan pergerakan Leapfrog ke dunia pendidikan. Leapfrog tidak lagi hanya membuat produk yang berkaitan dengan mainan, tapi juga mulai bergerak ke industri pendidikan. Hal ini terlihat sekali dengan diluncurkannya SchoolHouse Division, yang bisnis modelnya sangat berbeda dengan bisnis model di industri mainan (extend).

Selain itu, Leapfrog juga mulai menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan di dalam maupun di luar Amerika untuk melakukan kerjasama virtual (virtual integration). Ini dilakukan dengan beberapa pabrik di China dan perusahaan di luar Amerika untuk memasarkan produk Leapfrog secara internasional.

Perkembangan di bidang IT di antaranya, pengembangan produk baru dilakukan dengan menggunakan EDA (Electronic Design Automation) yang dikeluarkan oleh Synopsis dan berjalan pada IBM Linux Cluster. EDA ini membantu simulasi produk baru yang akan dikeluarkan. Sedangkan untuk mengikat konsumen, Leapfrog menggunakan online service untuk meng-upgrade content dan meng-upload nilai yang didapat dari permainan Leapfrog.

Di stage 3 ini, Leapfrog melakukan IPO (Initial Public Offering) untuk memperkuat capital dan brand name. Penambahan bisnis model yang baru yaitu industri pendidikan juga merupakan resiko. Industri pendidikan yang baru dimasuki oleh Leapfrog sangat berbeda dengan industri mainan. Selain itu, resiko yang lain adalah bagaimana mempertahankan suasana, tetap seperti perusahaan kecil seiring dengan perkembangan perusahaan menjadi enterprise. Untuk mengatasi hal ini Leapfrog mengambil langkah hybrid approach, dengan tetap membuat suasana yang menunjang kreativitas dan innovasi dan disisi lain juga mengembangkan kompleksitas dari industrinya.

Stage 4 – Leap to Sustain
Stage 4 ini merupakan tahap perkembangan lanjutan setelah tahun 2003 sampai sekarang. Di stage ini, Leapfrog mengalami kerugian (jawaban Pertanyaan 2) karena kurangnya perhatian dan antisipasi terhadap perkembangan IT. Karena kurang memperhatikan SCMnya, terdapat produk senilai US$ 20 M yang tidak bisa dipasarkan. Ini yang menjadi hit terbesar bagi Leapfrog di stage 4.

Kerugian akibat SCM ini membuat Leapfrog melakukan beberapa perubahan di organisasinya terutama IT, dengan mengangkat CIO, CFO dan Supply Chain Manager. Selain itu, di stage 4 ini juga mulai diluncurkan penjualan secara online (http://www.leapfrogstore.com/), sesuai dengan perkembangan kematangan teknologi.
Di stage 4 ini pula Leapfrog mendapatkan pesaing-pesaing baru. Walaupun tetap merajai penjualan mainan edukasi, sudah banyak produk-produk saingan yang diluncurkan oleh berbagai perusahaan untuk menyaingi Leapfrog. Salah satunya adalah PowerTouch dari Mattel.

Di stage 4 ini pula muncul berbagai pertanyaan bagaimana Leapfrog bisa tetap mempertahankan sustainability-nya. Strategi apa yang akan diambil Leapfrog selanjutnya. Apakah Leapfrog akan tetap melakukan inovasi untuk memunculkan produk-produk yang lebih bervariasi atau mencoba masuk ke industri yang lain atau bahkan keluar dari industri yang sudah dibangun sekarang? Apakah Leapfrog akan tetap meloncat menyaingi pesaingnya ? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk dinantikan jawabnya ke depan.

Pertanyaan V
1. Implementasi IT pada proses R&D untuk memperkuat core competency dan mempertahankan competitive advantage. Penting bagi suatu perusahaan untuk selalu melakukan iterative development terhadap produk, dan evaluasi secara menyeluruh sebelum produk dipasarkan. Peran IT adalah dalam menyederhanakan, mempercepat dan otomasi proses.

2. Implementasi IT terhadap supply chain secara menyeluruh. Dalam menjamin ketersediaan barang secara just in time inventory, dan ontime delivery ke konsumen. Juga terkait erat dengan capacity planning dan demand forecasting sehingga produktivitas bisa dioptimalkan. Implementasi ini meliputi logistic system, just in time inventory system, warehousing system, SCM system secara EDI ke retailer-retailer besar. IT dalam hal ini mempercepat dan memperpendek jarak dan waktu distribusi barang.

3. Implementasi IT terkait online services. Leapfrog dengan jeli membaginya menjadi :
a.Company Profile, product information dan product support. (www.leapfrog.com)
b.Online Store (www.leapfrogstore.com)
c.Spesifik Educational market (www.leapfrogschoolhouse.com)
d.Informasi Investor (www.leapfroginvestor.com)
e.International marketing, beberapa site dari negara berbeda.

Peranan internet dan IT tidak terbantahkan lagi dalam era globalisasi. Global network yang disikapi dengan implementasi IT yang tepat merupakan senjata utama dalam persaingan bisnis masa depan.

Wednesday, March 15, 2006

Kodok Loncat .. Mari Berloncatan

Kodok Loncat .. Akankah meloncat pada suatu kemenangan atau kesengsaraan ??

Leapfrog adalah sebuah perusahaan yang berdedikasi tinggi dalam menjadikan industri mainan bukan hanya industri untuk kesenangan biasa tapi juga ada unsur pendidikan di dalamnya. bukan hanya mainan yang menjadi titik permasalahan bagi Leapfrog tapi sarana pendidikan. Contoh produk Leapfrog yang pasti hampir setiap orang, terutama di Indonesia, tau adalah Dora The Explorer. Ini hanya salah satu dari ciptaan Leapfrog dari sekian banyak mainan pendidikan lainnya.

Lompatan-lompatan yang dilalui oleh Leapfrog, bisa digolongkan kedalam 3 tahap, Leap to Exists, Leap to Success and Leap to Lead. penggolongan tiga tahap itu bisa dilihat dari startegic shifts, market structure & busines network dan IT development.

Dari strategic shift, bisa dilihat Leapfrog melalui ketiga strategic shift, Enhance, Expand dan Extend. Enhance dilakukan pada stage-stage awal dimana Leapfrog menuangkan idenya tentang mainan yang bisa mendidik untuk mendapatkan harga yang kompetitive di pasaran. Expand dilakukan dengan membuat diversifikasi produk, mulai dari platform sampai content yang bisa dipisah. Extend dilakukan dengan melompat pada industri sekolah. industri sekolah jelas sangat beda dengan industri mainan. karena lompatan ini, Leapfrog yang sekarang dikenal dengan 2 bisnis modelnya, model pertama di mainan dan model kedua di pendidikan.


Dari market structure and bisnis network, Leapfrog melakukan lompatan-lompatan dalam bekerjasama dengan partner-partner bisnisnya. pada awal-awal kerja sama tersebut lebih bersifat transactional, ada barang yah dibeli, satu kali transaksi selesai. Ini bisa dilihat dengan kerja sama awal Leapfrog dengan toys manufacture dan toy 'r us (pembelian pertama toy 'r us langsung memesan 40.000). kemudian dengan berkembangnya bisnis, kerjasama Leapfrog juga berkembang ke arah contract. kerjasama sudah tidak lagi dilakukan dengan membeli sekali jadi setelah itu selesai. tapi lebih ke yang sifatnya terus menerus dan kontinuitas. Kontrak dengan toko-toko pun dibuat. bila stok di toko sudah mulai berkurang, Leapfrog akan mengirimkan kembali barang2nya. Pada stage terakhir, di lihat kecendrungan lompatan Leapfrog ke Partnership. dengan beberapa perusahaan, Leapfrog membuat kerjasama berdasarkan kebutuhan bersama. tidak lagi sekedar jual dan beli.

Dari segi IT development .... hmm... ini agak bingung. karena belum tau mau nulis apa tentang ini. Ada ide gak ???

Tuesday, March 14, 2006

D' Minute n D' progress

Dari hasil meeting kita semalam dan beberapa malam yang lalu, disepakati untuk membagi tugas secara spesifik ke semua anggota kelompok. Tujuannya adalah melatih supaya kita terfokus dan memiliki pendalaman di materi tertentu. Meskipun nantinya demi kemaslahatan bersama masing - masing kudu sharing ke anggota yang lain.

Untuk PSSI, sesuai dengan identifikasi metodologi yang bisa kita gunakan, komposisi pengerjaannya diatur kaya gini okta-narsum,aes Towsend,Amir Swothy,Jimmy Pestley,n Linda 5Forces.

Untuk SIK, urut aja dari no 1 - 5, okta,agung,jimmy,linda,amir.

Beberapa url menarik yang sudah kukolek :
ini trus ini juga trus apalagi ini.

Okey bos ... siap difollowup yahh.