Magenta Solusindo

-let's enjoy open discussion-

Sunday, March 19, 2006

Leapfrog, another fairy tale to success

Pertanyaan I
Business model yang Leapfrog terapkan pertama kali adalah toy company. Model ini tercipta berdasarkan inspirasi yang didapatkan saat Mike Wood sedang bermain dengan anaknya, dan ingin membantu anaknya dalam mengenal bahwa huruf itu memiliki nama dan suara. Dari sinilah Mike Wood menginventasikan uangnya untuk mewujudkan idenya yang berorientasi pada mainan yang mendidik, dan produk yang pertama dia luncurkan adalah The Phonics Desk yang terintegrasi dengan teknologi dengan berdasarkan pada research learning model untuk phonics instruction.

Business model yang leapfrog terapkan sukses besar, hal ini dikarenakan ada perencanaan dan research yang matang. Selain itu Leapfrog juga menyiapkan jaringan untuk memasarkan produknya. Leapfrog berdiri tahun 1995, setelah melalui proses riset yang panjang dari tahun 1990. Wood melakukan konsultasi dan kerjasama dengan para pakar di bidang pendidikan untuk produk pertamanya yaitu The Phonics Desk. Wood juga melakukan assess terhadap produk sebelum dijual dengan pola sebagai berikut :


Salah satu prinsip mereka adalah “we have to build things that are exiciting enough to engage kids and get them focuse and learning”. Dari prinsip tersebut Leapfrog mengembangkan business modelnya di bidang pendikan di mana publik US sangat concern terhadap edukasi. Leapfrog kemudian terus bertransformasi dengan tetap mempertahankan visi mereka yang dianggap sebagai competitive advantage demi menjaga supaya bisnis sustainable.

Pertanyaan II
Fenomena yang dibuat oleh Leapfrog memang cukup menarik. Dengan sebuah konsep yang orisinil, yang menurut Prof. Kim dalam bukunya Blue Ocean Strategy, Mike Wood alih – alih bersaing dalam samudra merah yang penuh dengan persaingan berdarah – darah. Secara realistis lebih memilih untuk memasuki pasar dunia mainan dari segmen yang sama sekali berbeda. Sehingga pada masa – masa awal, yaitu kurun waktu 1995 – 2003, persaingan di dunia industri mainan khususnya produk edukasi menjadi tidak relevan. Model pendekatan di mana berdasarkan pasar yang ada dikembangkan lagi menjadi suatu produk baru(expand), dengan packaging dan target pasar yang spesifik, disebut lebih lanjut oleh Prof. Kim sebagai strategi samudra biru.

Dari strategi itulah Leapfrog bisa menembus dominasi para pemain lama, yang terutama dikuasai oleh Mattel, Hasbro dan sukses menguasai pasar di posisi ketiga. Meski sebenarnya tidak bisa begitu saja dibandingkan secara apple to apple, karena Mattel dan Hasbro memproduksi mainan secara lebih general, sedangkan Leapfrog mendefinisikan dirinya spesifik sebagai technology-based learning products. Dari diferensiasi strategi itulah, Leapfrog sukses membukukan produknya sebagai Toy of the Year versi TIA (Toy Industry Association) secara berturut – turut dari tahun 2000 – 2005. Hal ini masih diperkuat dengan data dari banyak lembaga market research yang mengukuhkan Leapfrog sebagai Brand Leader dari Educational Toy Market.

Namun demikian dunia bisnis bukanlah lingkungan yang ramah. Kesuksesan Leapfrog dalam membukukan total Net Sales senilai US$ 680 M di tahun 2003, membuka mata para pemain yang lain terhadap pasar yang menggiurkan tersebut. Tak kurang Mattel akhirnya membuat sebuah produk sejenis yaitu Fisher-Price PowerTouch, dan Vtech dari Hongkong dengan produknya V-Smile gadget, berhasil merebut ‘kue’ yang sebelumnya dinikmati oleh Leapfrog sendiri.

Leapfrog Annual Report (www.leapfroginvestor.com)



Dari annual report tersebut, akhirnya Leapfrog terkena badai juga. Tahun 2004, selain dihadapkan pada kondisi bahwa market tidak seindah tahun sebelumnya, penurunan sales juga memicu turunnya nilai saham Leapfrog (LF) dan semakin membuat rapor Leapfrog merah pada tahun tersebut. Hal ini kontras dengan kenyataan bahwa pada tahun 2002, Leapfrog mencatat sejarah sebagai IPO tersuskes.

Sebenarnya apa yang terjadi pada tahun 2004. Tom Kalinske 15 Februari 2005 di SF Business Times, menyatakan bahwa Leapfrog pada tahun 2004 menghabiskan operasional cost lebih banyak dari yang seharusnya. Tom juga menyebutkan bahwa Retailer tidak memesan sebanyak yang diharapkan. Kemudian CEO yang baru Jerry Perez, pada artikel di BusinessWeek ”Can LeapFrog Jump Back to the Black?” tanggal tanggal 23 Agustus 2005, menambahkan bahwa memasuki Quarter ketiga tahun 2005 Leapfrog berhasil melakukan delivery terhadap pemesanan customer sebanyak 90% secara on time dibandingkan dengan jumlah 64% di tahun 2004.

Pada tahun tersebut penjualan Leapfrog secara sistem terganggu oleh kegiatan implementasi sistem inventory, dan manajemen distribusi. Dengan kebutuhan dari customer seperti Wal-Mart, Target, dan juga Amazon.com yang besar, Leapfrog tidak bisa mengantisipasi demand dengan supply yang baik. Kondisi inilah yang akhirnya disadari oleh Leapfrog bahwa mereka tidak mengantisipasi perkembangan tersebut dengan implementasi sistem informasi dan teknologi informasi terkait dengan inventory dan distribusinya. Sehingga pada awal tahun 2005, mereka merekrut CFO, CIO dan Supply Chain Manager untuk memperbaiki itu semua.

Namun demikian berkat strong brand identity, dan predikat sebagai first innovator, Leapfrog tidak terlempar keluar dari kompetisi. Setelah implementasi sistem TI yang lebih baik, akhirnya pada tahun 2005 Leapfrog berhasil membukukan Net Income yang positif dan siap berkompetisi kembali.

Pertanyaan III
Adanya educational principles sebagai value brand dari produk yang sangat mendukung public interest. Keunggulan inilah yang membuat LeapFrog sustainable dalam berkompetisi. Improvement terbuka lebar dengan inovasi produk ke arah teknologi yang menawarkan kemudahan, kenyamanan dan interaktif dalam belajar sekaligus bermain.

Adanya 2 sektor bisnis yang kuat, yaitu sebagai toy company dan educational company sehingga dapat meraih target market yang lebih besar. Implikasi dari potensi market yang besar dan terprediksi dengan baik, maka semakin tinggi tingkat penjualan dan margin sehingga sustainable dalam pemasarannya. Improvement perlu dilakukan dalam mengelola masing-masing sektor secara khusus dengan pemilihan resource yang tepat dan secara umum melakukan virtual integration yang loosely-coupled dengan perusahaan-perusahaan manufacturing dan retailer.

Adanya brand image yang kuat pada produknya sehingga secara otomatis mengikat target market. Keunggulan brand sebagai first mover ini menjadi alasan kuat bagi Leapfrog tersebut untuk berkompetisi. LeapFrog berhasil memberikan solusi terbaik bagi anak-anak agar sesuai dengan keinginan orang tua sebagai sasaran. Dengan menjadikan setiap inovasi sebagai intellectual property akan semakin meningkatkan sustainability.

Adanya diversifikasi produk dalam membangun opportunities yang berkembang berdasarkan behaviour dari target market. Adanya competitor membuat Leapfrog perlu untuk mengevaluasi produknya agar dapat memberikan greater value pada produknya melebihi apa yang ditawarkan oleh competitor. LeapFrog selalu melihat dan belajar dari pola market, sehingga lebih sustain dalam mengembangkan produknya. Improvement dapat terlihat setelah Leapfrog tersebut memiliki positioning strategy pada consumer behaviour (cultural, social, personal dan psychological).

Pertanyaan IV
Perkembangan Leapfrog melalui beberapa tahapan. Bila dilihat dengan seksama, tahapan perkembangan itu bisa dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Stage 1  Leap to Exists (1990 – 1997)
2. Stage 2  Leap to Success (mid 1997 – 2001)
3. Stage 3  Leap to Lead (2001 – 2003)
4. Stage 4  Leap to Sustain (2004 – sekarang)
Untuk lebih jelasnya tentang perkembangan yang terjadi bisa dilihat pada gambar 1 dan 2, serta tabel 1 dan 2.

Gambar 1. Pengembangan Produk Leapfrog


Gambar 2. Pengembangan Kerjasama Leapfrog

Tabel 1. Perkembangan IT Leapfrog


Tabel 2. Faktor Keberhasilan, Resiko dan Tradeoff Leapfrog


Stage 1 – Leap to Exists
Ini merupakan tahap awal, di mana Leapfrog lebih bertujuan untuk memperkenalkan produk yang dihasilkannya ke konsumen. Leapfrog memperbaiki produk dan menurunkan harga produksinya (‘The Phonics Learning System’ dari $ 100 menjadi kurang dari $ 50).

Selain itu, kerjasama antara Leapfrog dengan pabrik dan retailer pun masih bersifat transactional biasa. Pemesanan langsung dibayarkan ketika barang datang, tanpa memikirkan tentang kontrak yang akan datang. Pada tahap ini IT hanya digunakan untuk pengembangan produknya, itupun masih di-outsource dari sebuah perusahaan software lain.

Walaupun demikian, produk Leapfrog berhasil mendapatkan sukses. Faktor penentu kesuksesan itu antara lain ide inovasi yang dihasilkan, kesetiaan investor dan karyawan serta belum adanya pesaing di produk yang dikeluarkan. Sehingga Leapfrog memperoleh keuntungan yang sangat tinggi.

Resiko pada tahap ini adalah kesulitan dalam kesesuaian harga antara biaya produksi dan ekspektasi konsumen. Hal ini menyebabkan Leapfrog baru menjadi sebuah perusahaan dan mengeluarkan produk pada tahun 1995, walaupun idenya sudah ada dari tahun 1990. Faktor lain yang menjadi resiko adalah sangat eratnya keterkaitan dengan pabrik (tightly coupled). Pada tahap ini Leapfrog belum memiliki banyak partnership dengan manufaktur. Ini menyebabkan Leapfrog harus merelakan 80 % dari keuntungannya untuk menerbangkan produknya agar sampai tepat waktu.

Stage 2 – Leap to Success
Pada tahap ini,Leapfrog terus berusaha mengembangkan diri. Langkah-langkah yang diambil di antaranya : untuk mendapatkan capital Leapfrog bergabung dengan Knowledge Universe dan untuk memperkuat teknologi Leapfrog mengakusisi Explore Learning. Tahap ini memungkinkan Leapfrog untuk melakukan proses penelitian dan pembuatan hardware dan software produknya secara in house (selective outsourcing).

Di sisi lain, Leapfrog mulai melakukan diversifikasi produk. Leapfrog melakukannya dengan memperbanyak produk education toys dan memisahkan antara platform dan content. Platform yang dibuat terdiri dari beberapa versi, yang setiap versi compatible dengan versi sebelumnya. Sedangkan content nya dibuat dalam berbagai judul dan isi.

Hubungan dengan pabrik dan retailer pun berubah, dan bergerak ke arah kerjasama berdasarkan kontrak (contractual). Dalam segi IT, selain pembuatan dan penelitian software dan hardware secara in house, mulai terdapat penggunaan IT sebagai alat untuk menangani proses yang terjadi. Salah satunya adalah dengan just in time inventory system yang menjembatani kebutuhan retailer dengan Leapfrog.

Perubahan strategi fabrikasi dan pemasaran dari tightly coupled menjadi loosely coupled merupakan salah satu faktor keberhasilan utama. Dengan adanya perubahan strategi itu, semakin banyak produk Leapfrog yang dapat diproduksi dan dijual. Resiko terbesar adalah bagaimana melakukan selective outsourcing. Akhirnya Leapfrog memutuskan untuk melakukan penelitian dan pembuatan produk tetap secara in house sedangkan fabrikasi dilakukan oleh perusahaan lain. Sedangkan untuk membuat compatible platform, Leapfrog mengeluarkan cost yang besar untuk R & D.

Stage 3 – Leap To Lead
Tahapan ini diwarnai dengan pergerakan Leapfrog ke dunia pendidikan. Leapfrog tidak lagi hanya membuat produk yang berkaitan dengan mainan, tapi juga mulai bergerak ke industri pendidikan. Hal ini terlihat sekali dengan diluncurkannya SchoolHouse Division, yang bisnis modelnya sangat berbeda dengan bisnis model di industri mainan (extend).

Selain itu, Leapfrog juga mulai menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan di dalam maupun di luar Amerika untuk melakukan kerjasama virtual (virtual integration). Ini dilakukan dengan beberapa pabrik di China dan perusahaan di luar Amerika untuk memasarkan produk Leapfrog secara internasional.

Perkembangan di bidang IT di antaranya, pengembangan produk baru dilakukan dengan menggunakan EDA (Electronic Design Automation) yang dikeluarkan oleh Synopsis dan berjalan pada IBM Linux Cluster. EDA ini membantu simulasi produk baru yang akan dikeluarkan. Sedangkan untuk mengikat konsumen, Leapfrog menggunakan online service untuk meng-upgrade content dan meng-upload nilai yang didapat dari permainan Leapfrog.

Di stage 3 ini, Leapfrog melakukan IPO (Initial Public Offering) untuk memperkuat capital dan brand name. Penambahan bisnis model yang baru yaitu industri pendidikan juga merupakan resiko. Industri pendidikan yang baru dimasuki oleh Leapfrog sangat berbeda dengan industri mainan. Selain itu, resiko yang lain adalah bagaimana mempertahankan suasana, tetap seperti perusahaan kecil seiring dengan perkembangan perusahaan menjadi enterprise. Untuk mengatasi hal ini Leapfrog mengambil langkah hybrid approach, dengan tetap membuat suasana yang menunjang kreativitas dan innovasi dan disisi lain juga mengembangkan kompleksitas dari industrinya.

Stage 4 – Leap to Sustain
Stage 4 ini merupakan tahap perkembangan lanjutan setelah tahun 2003 sampai sekarang. Di stage ini, Leapfrog mengalami kerugian (jawaban Pertanyaan 2) karena kurangnya perhatian dan antisipasi terhadap perkembangan IT. Karena kurang memperhatikan SCMnya, terdapat produk senilai US$ 20 M yang tidak bisa dipasarkan. Ini yang menjadi hit terbesar bagi Leapfrog di stage 4.

Kerugian akibat SCM ini membuat Leapfrog melakukan beberapa perubahan di organisasinya terutama IT, dengan mengangkat CIO, CFO dan Supply Chain Manager. Selain itu, di stage 4 ini juga mulai diluncurkan penjualan secara online (http://www.leapfrogstore.com/), sesuai dengan perkembangan kematangan teknologi.
Di stage 4 ini pula Leapfrog mendapatkan pesaing-pesaing baru. Walaupun tetap merajai penjualan mainan edukasi, sudah banyak produk-produk saingan yang diluncurkan oleh berbagai perusahaan untuk menyaingi Leapfrog. Salah satunya adalah PowerTouch dari Mattel.

Di stage 4 ini pula muncul berbagai pertanyaan bagaimana Leapfrog bisa tetap mempertahankan sustainability-nya. Strategi apa yang akan diambil Leapfrog selanjutnya. Apakah Leapfrog akan tetap melakukan inovasi untuk memunculkan produk-produk yang lebih bervariasi atau mencoba masuk ke industri yang lain atau bahkan keluar dari industri yang sudah dibangun sekarang? Apakah Leapfrog akan tetap meloncat menyaingi pesaingnya ? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk dinantikan jawabnya ke depan.

Pertanyaan V
1. Implementasi IT pada proses R&D untuk memperkuat core competency dan mempertahankan competitive advantage. Penting bagi suatu perusahaan untuk selalu melakukan iterative development terhadap produk, dan evaluasi secara menyeluruh sebelum produk dipasarkan. Peran IT adalah dalam menyederhanakan, mempercepat dan otomasi proses.

2. Implementasi IT terhadap supply chain secara menyeluruh. Dalam menjamin ketersediaan barang secara just in time inventory, dan ontime delivery ke konsumen. Juga terkait erat dengan capacity planning dan demand forecasting sehingga produktivitas bisa dioptimalkan. Implementasi ini meliputi logistic system, just in time inventory system, warehousing system, SCM system secara EDI ke retailer-retailer besar. IT dalam hal ini mempercepat dan memperpendek jarak dan waktu distribusi barang.

3. Implementasi IT terkait online services. Leapfrog dengan jeli membaginya menjadi :
a.Company Profile, product information dan product support. (www.leapfrog.com)
b.Online Store (www.leapfrogstore.com)
c.Spesifik Educational market (www.leapfrogschoolhouse.com)
d.Informasi Investor (www.leapfroginvestor.com)
e.International marketing, beberapa site dari negara berbeda.

Peranan internet dan IT tidak terbantahkan lagi dalam era globalisasi. Global network yang disikapi dengan implementasi IT yang tepat merupakan senjata utama dalam persaingan bisnis masa depan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home